87 Tahun Jacob Oetama dan Era Banjir Reformasi
87 Tahun Jacob Oetama dan Era Banjir Reformasi.
“Informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan mulai dikhawatirkan sebagai sumber kecemasan. Lubernya informasi tidak lain berarti bahwa ada jenis informasi yang bukan saja tidak sempat diolah akan tetapi juga sama sekali tidak mungkin dipakai.” — Jakob Oetama
Warisan nilai yang dihidupi Jakob tidak hanya menjadi tonggak bagi
jurnalisme yang digeluti para wartawan Kompas dan grup Kompas Gramedia
tetapi juga warisan yang mewarnai perjalanan jurnalisme Indonesia.
“Informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan mulai dikhawatirkan sebagai sumber kecemasan. Lubernya informasi tidak lain berarti bahwa ada jenis informasi yang bukan saja tidak sempat diolah akan tetapi juga sama sekali tidak mungkin dipakai.” — Jakob Oetama
Tahukah Anda, berapa berita yang diunggah media online dalam satu
hari? Satu media online arus utama di Indonesia setidaknya mengunggah
400 hingga 2.500 berita per hari. Itu baru satu media online. Berapa
media online yang kerap Anda sambangi dalam satu hari?
Lantas, berapa berita yang Anda baca dalam satu hari? Mungkin tak
sampai 10 berita. Meski jumlah berita dalam satu hari mengalir deras,
namun media tak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi bagi
masyarakat. Ada media sosial yang acapkali malah lebih cepat memberikan
informasi atas sebuah peristiwa. Konon, ada 6.000 twit di Twitter setiap
detiknya.
Sementara di Facebook, media sosial paling populer di Indonesia,
memproduksi 293.000 status setiap 60 detik. Ada 2,2 miliar orang di
seluruh dunia aktif setiap hari di media sosial buatan Mark Zuckerberg
itu. Jangan lupakan video. Setiap menit, 300 jam video diunggah ke
Youtube.
Absolutely, informasi kini mengalir bak air bah. Banjir. Luber,
melebihi kemampuan kita untuk menyerapnya. Segala informasi itu bahkan
kini datang mengunjungi ruang-ruang personal kita di layar ponsel dan
laptop, menyusup dalam pesan broadcast di Whatsapp atau Line. Cilakanya,
kita seringkali tidak tahu apakah informasi yang datang benar atau
salah. Era banjir informasi sekaligus juga merupakan era ketidakpastian
informasi.
Absolutely, informasi kini mengalir bak air bah. Banjir. Luber,
melebihi kemampuan kita untuk menyerapnya. Segala informasi itu bahkan
kini datang mengunjungi ruang-ruang personal kita di layar ponsel dan
laptop, menyusup dalam pesan broadcast di Whatsapp atau Line.
Cilakanya, kita seringkali tidak tahu apakah informasi yang datang
benar atau salah. Era banjir informasi sekaligus juga merupakan era
ketidakpastian informasi. Ironis, di era digital, ketika informasi
melimpah banyak, kebenaran justru menjadi sesuatu semakin tidak pasti,
kata Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, kritikus media dalam bukunya Blur.
Alih-alih memberi kepastian, media tradisional, yang dulu menjadi
the guardian angle of information, tak sedikit yang terpeleset
mengamplifikasi ketidakpastian semata-mata demi kepentingan komoditas
informasi. Informasi malah menjadi sumber kecemasan baru.
Jurnalisme Makna
Bagaimana media seyogianya menempatkan diri di era banjir
informasi? Pendiri harian Kompas Jakob Oetama jauh-jauh hari bicara soal
jurnalisme makna. Ia menyampaikan gagasannya ini saat dikukuhkan
sebagai doktor kehormatan Universitas Gadjah Mada pada 17 April 2003.
Ironis, di era digital, ketika informasi melimpah banyak, kebenaran
justru menjadi sesuatu semakin tidak pasti, kata Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel, kritikus media dalam bukunya Blur. Alih-alih memberi
kepastian, media tradisional, yang dulu menjadi the guardian angle of
information, tak sedikit yang terpeleset mengamplifikasi ketidakpastian
semata-mata demi kepentingan komoditas informasi. Informasi malah
menjadi sumber kecemasan baru.
“Informasi yang dipersepsikan sebagai sumber pengetahuan mulai
dikhawatirkan sebagai sumber kecemasan. Lubernya informasi tidak lain
berarti bahwa ada jenis informasi yang bukan saja tidak sempat diolah
akan tetapi juga sama sekali tidak mungkin dipakai,” kata Jakob dalam
pidatonya.
Menurut dia, seorang wartawan seyogianya tidak hanya memberitakan
sebuah peristiwa, tapi masuk lebih jauh menggali apa makna dari
peristiwa itu. “Seorang wartawan harus mampu mengambil jarak atas
peristiwa yang ditulisnya dan menarik sebuah refleksi atas peristiwa
tersebut. Dengan begitu, pembaca mendapatkan enlightment atau
pencerahan,” pungkasnya Jakob.
Tugas media, ia menegaskan, adalah mencari dan menghadirkan makna dari peristiwa dan masalah, besar dan kecil.
Pencarian makna itu berpedoman pada politics of values, yaitu
tentang apa yang baik dan tidak baik, penting dan tidak penting, bukan
politics of power, politik kekuasaan atas dasar kepentingan kelompok
atau segelintir orang.
Oleh karena itu, jurnalis dituntut untuk tidak sekadar membuat
laporan, tapi laporan yang komprehensif yaitu laporan yang berusaha
memaparkan seluruh persoalan berikut aneka macam latar belakang,
interaksi serta prosesnya. “Reportase faktual yang memisahkan fakta dan
opini berkembang sebagai reportase interpretasi, reportase yang
mendalam, yang investigatif dan reportase yang komprehensif.
Bukan sekadar fakta menurut uturan kejadiannya, bukan fakta secara
linear, melainkan fakta yang mencakup. Dicari interaksi tali temalinya.
Diberi interpretasi atas dasar interaksi dan latar belakangnya.
Ditemukan variabel-variabelnya. Dengan cara itu berita bukan sekadar
informasi tentang fakta. Berita sekaligus menyajikan interpretasi akan
arti dan makna dari peristiwa,” terang Jakob.
Gagasan Jurnalisme Makna yang disampaikan Jakob sangat relevan di
era banjir informasi ini. Media seyogianya menjadi batu penjuru, tempat
masyarakat mendapat kepastian. Media harus memberi jawab, mencerahkan,
menjelaskan duduknya perkara.
Legacy Itulah salah satu warisan Jakob Oetama yang hari ini
berulangtahun ke-87. Ia lahir di Desa Jowahan, 500 meter sebelah timur
Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada 27 September 1931.
Jurnalisme makna hanya satu dari banyak gagasan lain tentang jurnalisme
yang selama ini dipraktikkan di harian Kompas, Kompas.com, dan Kompas
TV.
Comments
Post a Comment